Upaya-upaya membungkam suara mahasiswa terus dilakukan. Paling santer dan kentara, yang tak terlupa, saat Jokowi mengajak makan malam pentolan mahasiswa yang menggulirkan isu pelengseran dirinya dari istana. Dan setelahnya, demonstrasi mereda. Berbagai alasan dikemukakan baik dari seberang istana maupun dari aktivis mahasiswa, yang intinya, "Ini adalah undangan yang biasa. Mahasiswa menyampaikan aspirasi. Jokowi mendengarkan dengan teliti."
Inilah bangkitnya tirani itu! Pemenggalan terhadap demokrasi, hak bersuara, dan upaya memberangus kebenaran. Ronny menjadi korban kesewenang-wenangan, di zaman saat reformasi sedang mempersolek dirinya sejak 16 tahun silam.
Tak lama, para aktivis mahasiswa dan siapapun yang membenci kedzaliman bergerak, lewat medsos, menyebarkan berita itu, membuat para petisi, hingga agenda gerakan besar-besaran mengungkap kebobrokan ini. Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI, bahkan ikut bersuara. "Dan kalau rektor telah berubah menjadi simbol kekuasaan maka rektor pun layak ditumbangkan!" paparnya.
Tapi belum berselang sehari, saat isu-isu DO-nya Ronny oleh rektor sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dan membakar siapapun yang peduli pada upaya tegaknya demokrasi, muncul kabar bahwa Ronny dan Rektor UNJ sudah dimediasi dan didamaikan oleh Jazuli Juwaini, anggota DPR dari PKS. "Kedua belah pihak telah saling memaafkan dan saling komitmen untuk sinergi memajukan UNJ," begitu kicauannya di media sosial.
Tidak! sekali-kali tidak! kezaliman tak boleh dibiarkan hanya dengan pema'afan. Apalagi, cara-cara diplomasi untuk menyelesaikan kasus ini hanya menguntungkan pihak rektor. Tentu ia sangat ketakutan boroknya kian kelihatan, karena isu sudah bergulir bak bola salju. Pastilah pula di luar akan tampak bermanis-manis muka, khas sebagian pejabat kita ketika berbicara di depan publik.
Pak rektor harus diseret ke meja hijau, ia telah memasung hal yang paling asasi dalam demokrasi. Kezaliman harus dilawan, karena jika tidak kezaliman akan terus tumbuh dengan korban-korban baru yang bergelimpangan. Mungkin juga, Ronny-Ronny baru.
Hingga kemudian, tidak hanya
pembungkaman dengan cara halus, tapi juga dengan cara-cara tiran. Seperti yang
dilakukan rektor UNJ terhadap Presiden BEM UNJ, Ronny Setiawan. Ronny selama
ini dikenal vokal terutama dalam mengungkap dan mengusut
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pihak rektorat. Dan karena alasan
itu, rektor UNJ mengeluarkan (Men-drop
out) Ronny dari kampus.
Surat pemberhentian itu dikeluarkan oleh rektor dengan nomor 01/SP/2016 pada
tanggal 4 Januari 2016. Alasan yang dikemukakan dalam surat itu adalah Ronny dituduh
melakukan kejahatan berbasis tekhnologi dan penghasutan yang dapat mengganggu
ketentraman, mencemarkan nama baik rektor dan kampus di medsos, serta menyurati rektor dengan nada
ancaman.
Inilah bangkitnya tirani itu! Pemenggalan terhadap demokrasi, hak bersuara, dan upaya memberangus kebenaran. Ronny menjadi korban kesewenang-wenangan, di zaman saat reformasi sedang mempersolek dirinya sejak 16 tahun silam.
Tak lama, para aktivis mahasiswa dan siapapun yang membenci kedzaliman bergerak, lewat medsos, menyebarkan berita itu, membuat para petisi, hingga agenda gerakan besar-besaran mengungkap kebobrokan ini. Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI, bahkan ikut bersuara. "Dan kalau rektor telah berubah menjadi simbol kekuasaan maka rektor pun layak ditumbangkan!" paparnya.
Tapi belum berselang sehari, saat isu-isu DO-nya Ronny oleh rektor sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dan membakar siapapun yang peduli pada upaya tegaknya demokrasi, muncul kabar bahwa Ronny dan Rektor UNJ sudah dimediasi dan didamaikan oleh Jazuli Juwaini, anggota DPR dari PKS. "Kedua belah pihak telah saling memaafkan dan saling komitmen untuk sinergi memajukan UNJ," begitu kicauannya di media sosial.
Dalam hal ini, saya tidak setuju
dengan jalan yang ditempuh Jazuli. Meski ia mengaku melakukan upaya mediasi itu setelah dikontak langsung
oleh Rektor UNJ, Prof Djaali. Namun dengan pemberitaan yang ia sebarkan,
seolah-olah kasus Ronny selesai dan menegaskan bahwa rektor UNJ berjiwa lapang
memaafkan dan mau meminta maaf. Terkesan pula, bahwa ini hanya soal
miskomunikasi antara seorang ayah dan anak. Dan yang terpenting, lagi-lagi, seolah-olah
case closed.
Tidak! sekali-kali tidak! kezaliman tak boleh dibiarkan hanya dengan pema'afan. Apalagi, cara-cara diplomasi untuk menyelesaikan kasus ini hanya menguntungkan pihak rektor. Tentu ia sangat ketakutan boroknya kian kelihatan, karena isu sudah bergulir bak bola salju. Pastilah pula di luar akan tampak bermanis-manis muka, khas sebagian pejabat kita ketika berbicara di depan publik.
Pak rektor harus diseret ke meja hijau, ia telah memasung hal yang paling asasi dalam demokrasi. Kezaliman harus dilawan, karena jika tidak kezaliman akan terus tumbuh dengan korban-korban baru yang bergelimpangan. Mungkin juga, Ronny-Ronny baru.
Cancel